Beranda | Artikel
Musafir, Manakah Yang Lebih Utama, Berpuasa Atau Tidak Berpuasa Ketika Dalam Perjalanan?
Minggu, 3 Mei 2020

ALASAN-ALASAN YANG MEMBOLEHKAN SESEORANG UNTUK TIDAK BERPUASA PADA SIANG HARI DI BULAN RAMADHAN

Pembahasan 2
M U S A F I R
Bagian Keempat: Manakah yang Lebih Utama, Berpuasa atau Tidak Berpuasa Ketika dalam Perjalanan?
Yang terbaik bagi seorang musafir adalah mengerjakan yang paling mudah, berpuasa atau tidak berpuasa. Jika kedua-duanya dalam posisi yang sama, maka berpuasa adalah lebih baik, dengan beberapa alasan:

  • Pertama, karena ia lebih cepat untuk melepaskan diri dari kewajiban.
  • Kedua, akan lebih semangat baginya jika dia berpuasa ber-sama orang lain.
  • Ketiga, mengetahui keutamaan waktu.
  • Keempat, karena hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abud Darda’ Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah pergi ber-sama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa perjalanan beliau pada hari yang panas sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat terik. Tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibnu Rawahah…”[1]

Dan jika seorang musafir merasa kesulitan untuk menjalankan puasa, maka dia boleh tidak berpuasa dalam perjalanan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak berpuasa ketika diberitahu bahwa para Sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa keberatan untuk menjalankan puasa.

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pergi ke Makkah di tahun pembebasan kota Makkah pada bulan Ramadhan, di mana beliau berpuasa hingga ketika sampai di daerah Kira’al Ghamim, maka orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta dibawakan satu wadah air dan kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sehingga orang-orang melihatnya. Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminumnya dan setelah itu ditanyakan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Sesungguhnya sebagian orang-orang tetap berpuasa.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka adalah pelaku kemaksiatan, mereka adalah pelaku kemaksiatan.”[2]

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan: “Lalu dikatakan kepada beliau, sesungguhnya orang-orang telah keberatan menjalankan puasa. Dan orang-orang itu menunggu apa yang akan engkau kerjakan. Lalu beliau meminta dibawakan sewadah air setelah shalat ‘Ashar.”[3]

Dan jika seorang musafir telah tiba di negerinya di akhir puasa dalam keadaan tidak berpuasa, maka puasanya pada hari itu tidak sah, karena ia dalam keadaan tidak berpuasa sejak awal siang, sedangkan puasa yang wajib itu tidak sah dikerjakan, kecuali sejak fajar kedua terbit. Tetapi, apakah dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Sebagian di antara mereka mengatakan, dia harus menahan diri selama waktu yang tersisa pada hari itu untuk menghormati waktu dan dia juga harus mengqadha’ puasa, karena puasanya pada hari itu tidak sah. Sebagian ulama lainnya mengatakan, “Tidak ada kewajiban baginya untuk mena-han diri selama waktu yang tersisa pada hari itu, karena dia tidak memperoleh manfaat apa pun dari menahan diri pada waktu itu, karena kewajiban baginya hanyalah mengqadha’. Dan penghormatan terhadap waktu baginya telah hilang dengan dibolehkannya dia untuk tidak berpuasa sejak awal siang secara lahir maupun bathin.[4]

Inilah pendapat yang rajih, insya Allah. Tetapi makan dan minum yang dia lakukan tidak boleh diperlihatkan, karena alasan tidak berpuasanya itu tidak diketahui orang banyak sehingga dapat menimbulkan su-uzhan (prasangka buruk) terhadap dirinya atau tindakannya itu akan diikuti oleh orang lain, khususnya orang-orang bodoh dan orang-orang yang memiliki kepribadian lemah.

Bagian Kelima: Berbuka Puasa Bagi Orang yang Berniat untuk Bermukim di Suatu Negeri
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masalah ini dengan perbedaan yang luas. Pendapat yang shahih adalah jika seseorang telah berniat untuk bermukim lebih dari empat hari maka dia harus berpuasa dan menyempurnakan shalat seperti para pemukim lainnya, karena terputusnya hukum-hukum safar pada dirinya, baik tinggalnya itu untuk belajar, berdagang atau aktivitas lainnya yang dibolehkan agama. Dan jika dia berniat untuk bermukim empat hari atau kurang dari itu atau dia bermukim untuk menunaikan suatu hal yang dia tidak mengetahui kapan selesainya, maka dia boleh tidak berpuasa, karena tidak terputusnya hukum safar pada dirinya.[5]

[Disalin dari buku “Meraih Puasa Sempurna”,  Diterjemahkan dari kitab “Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab”, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir].
_____
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/30) dan Shahiih Muslim (III/145))
[2] Shahiih Muslim (no. 1114 (90)).-Pen.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/232))
[4] Al-Mabsuuth, karya as-Sarkhasi (III/58).
[5] Lihat Badaa-i’ush Shanaa-i’ (I/97), Bidaayatul Mujtahid (I/287), Majmuu’ Fataawaa (VI/263), Mughni al-Muhtaaj (I/437), ar-Raudhul Murabbi’ (III/372).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15677-musafir-manakah-yang-lebih-utama-berpuasa-atau-tidak-berpuasa-ketika-dalam-perjalanan.html